BeritaDaerahKota SerangMOTIVASINasionalOlahragaPemerintahanPendidikanPolitik

PDIP Pecat Jokowi: Antara Tuduhan Etik dan Realitas Jokowi Effect

78
×

PDIP Pecat Jokowi: Antara Tuduhan Etik dan Realitas Jokowi Effect

Share this article
Image Slider
banner 1
banner 2
banner 3
banner 4
banner 5
banner 6
banner 7
banner 8
banner 9
banner 10
banner 11
banner 12
banner 13
banner 14
banner 15
banner 16
banner 17

SINARINFO – PDI Perjuangan secara resmi memecat Joko Widodo (Jokowi) sebagai kader partai pada Senin (16/12/2024). Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024 yang ditandatangani oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto pada 4 Desember 2024.

Pemecatan ini didasarkan pada tuduhan pelanggaran berat terhadap etika dan disiplin partai, dengan alasan Jokowi dituding menyalahgunakan kekuasaan untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK). PDI Perjuangan menilai tindakan tersebut sebagai pemicu rusaknya sistem demokrasi, hukum, serta moral-etika di Indonesia.

Menanggapi keputusan ini, pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, menilai bahwa PDI Perjuangan tak akan sebesar sekarang tanpa keberadaan Jokowi. Menurutnya, kesuksesan PDIP dalam tiga pemilu terakhir tidak lepas dari “Jokowi Effect”.

“Tanpa Jokowi, PDIP bukan apa-apa. Tiga kali mendapat kursi terbanyak di DPR itu karena Jokowi. Sebelumnya? Tidak pernah. Bahkan Megawati menjadi presiden karena dipilih MPR, bukan rakyat secara langsung,” ujar Haidar Alwi, Senin (16/12/2024).

Haidar memaparkan data bahwa sebelum Jokowi muncul sebagai figur sentral, PDIP sempat mengalami penurunan signifikan. Pada Pemilu 2004, PDIP kalah dari Partai Golkar dengan perolehan 18,53 persen suara. Tren ini berlanjut pada Pemilu 2009, di mana suara PDIP melorot drastis menjadi 14,03 persen, tertinggal dari Partai Demokrat dan Partai Golkar.

Situasi berubah ketika Jokowi diusung sebagai calon presiden pada 2014. PDIP berhasil meraih 18,95 persen suara dan terus naik pada Pemilu 2019 dengan 19,33 persen suara. Namun, pada Pemilu 2024 ketika hubungan PDIP dan Jokowi mulai renggang, suara PDIP kembali turun ke 16,72 persen.

“PDIP baru berani memecat Jokowi sekarang, setelah puas meraup manfaat elektoral dari kepopulerannya. Mereka tahu betul Jokowi memiliki basis pendukung yang besar,” lanjut Haidar.

Lebih lanjut, Haidar menilai tuduhan PDIP terhadap Jokowi terkait penyalahgunaan kekuasaan dalam mengintervensi MK tidak memiliki dasar kuat.

“Putusan MK sudah jelas menyatakan bahwa Jokowi tidak terbukti melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Tuduhan ini tidak pernah terbukti,” tegas Haidar.

Haidar menilai keputusan PDIP ini sarat dengan perhitungan politik, mengingat momentum pemecatan dilakukan pasca-Pilpres dan Pilkada 2024, di saat partai tak lagi khawatir kehilangan manfaat elektoral dari dukungan Jokowi.

 

Akhirnya, pemecatan ini bukan sekadar dinamika internal partai, tetapi juga membuka perdebatan soal posisi Jokowi dalam sejarah kebangkitan PDIP di panggung politik nasional. (Red).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

banner 325x300